Latar belakang perang Shiffin didasari oleh adanya penolakan Muawiyah radhiallahu ‘anhu untuk berbaiat kepada Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Alasan Muawiyah menolak baiat karena Ali tidak segera menegakkan hukum Qishos (bunuh) terhadap para pembunuh Usman .
Sementara Ali melihat bahwa baiat Muawiyah merupakan prioritas utama dan mengqishos para pembunuh Usman akan segera dilakukan jika persoalan baiat sudah tuntas. Dengan kata lain, Ali menginginkan agar Muawiyah berbaiat pada dirinya terlebih dahulu, lalu akan dirundingkan penyelesaian terbaik terhadap para pembunuh Usman .
Dalam peperangan itu, Ali membawa 100 ribu pasukan, sementara Muawiyah menyiapkan 70 ribu pasukan. Setelah mendengar Ali mengirim pasukan perang, Muawiyah naik mimbar dan berpidato di hadapan rakyat guna meminta pandangan mereka.
Setelah mendengar pidato Muawiyah , Zulkala Al-Khiyali, salah seorang tokoh Syam mengatakan: “Katakan saja apa keputusanmu, kita akan mengikutinya.” Artinya, penduduk Syam sepakat dan bertekad mematuhi apa yang menjadi keputusan pemimpinnya, Muawiyah .
Dalam perang ini, pasukan Ali berangkat dan tiba di sebuah tempat bernama Shiffin, di Syam. Peperangan yang berlangsung pada tahun 37 Hijriyah ini cukup dahsyat, hingga pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Merasa terdesak, pihak Muawiyah meminta damai dengan mengangkat Al-Qur’an.
Oleh karena melihat Al-Qur’an yang diangkat, maka pihak Ali menghentikan serangan untuk merespon keinginan damai. Dua pasukan yang siap berdamai inilah yang disebut di dalam sejarah dengan “Peristiwa Tahkim”.
Peristiwa itu berjalan alami, dan setelah mengadakan perundingan disepakati untuk kembali ke tempatnya masing-masing. Dengan adanya kesepakatan itu maka kedua pasukan itu kembali ke wilayahnya masing masing, dimana pasukan Muawiyah kembali ke Syam, dan pasukan Ali ke Kufah.
Artinya, penghentian perang itu dirasakan hancurnya kekuatan internal umat Islam, sehingga mereka kembali ke wilayahnya masing-masing.
Ali sendiri tidak bergembira dalam perang ini, dan kecintaan Muawiyah terhadap Ali bin Abi Tholib juga demikian besar. Sehingga bisa dikatakan bahwa keduanya menyesali peperangan ini.
Kita sebagai seorang muslim wajib berhusnuzhon dengan apa yang terjadi pada zaman mereka.