Kajian Islam
MEMERANGI KAUM YANG MENGINGKARI KEWAJIBAN ZAKAT
Banyaknya golongan yang mengingkari kewajiban berzakat setelah wafatnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, merupakan fitnah besar yang melanda umat Islam. Pada saat itu, Abu Bakar Ash Shiddiq memutuskan untuk memerangi para penolak zakat hingga tuntas.
FITNAH DI MASA Khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq
Keputusan Abu Bakr Ash Shiddiq untuk memerangi penolak zakat mendapatkan penentangan dari sahabat Umar bin Khottob dengan alasan mereka masih mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, setelah mereka berdiskusi dan bermusyawarah mengenai hukum memerangi para penolak zakat, akhirnya Umar bin Khottob mengetahui bahwa pendapat Abu Bakar ash Shiddiq merupakan pendapat yang lebih tepat dan benar. Para sahabat lainnya pun mendukung pendapat Abu Bakar.
Pada prinsipnya Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam mengajarkan kelemah-lembutan sebagai salah satu pokok-pokok dasar dan awal dalam berdakwah. Namun, pada praktik di lapangan, terkadang terdapat keadaan yang memang mengharuskan untuk mengambil sikap tegas, seperti penegakan hukum bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat seperti menolak zakat.
Kaum Menolak dan Enggan Membayar Zakat
Golongan yang enggan membayar zakat pada asalnya telah memisahkan rukun Islam satu dengan yang lainnya. Perbuatan ini merupakan dosa besar yang menyebabkan kekufuran, sebab rukun Islam satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Wajib bagi penguasa muslim yang syar’i untuk mendakwahi mereka. Apabila cara-cara lembut tidak menyadarkan mereka, maka kewajiban mereka adalah memerangi golongan-golongan yang murtad dan menolak menjalankan syariat. Tujuannya bukan untuk membunuh mereka, akan tetapi agar mereka sadar dan kembali mengakui kewajiban pokok dalam agama Islam.
Mengingkari kewajiban berzakat berbeda dengan menolak zakat karena bakhil. Golongan pertama wajib diperangi karena mereka tidak mengimani kewajiban syariat. Adapun golongan kedua ia wajib didakwahi, sebab hukum asalnya mereka masih mengimani kewajiban syariat, akan tetapi terhalangi oleh sifat kikir dan bakhil.
Tidaklah suatu kaum menolak dan enggan membayar zakat melainkan Alloh akan timpakan kekeringan dan berbagai musibah kepada mereka hingga mereka kembali kepada agama Alloh Ta’ala.
Mulainya Fitnah Sejak Abu Bakar Asyidiq Menjadi Khalifah
Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, umat muslim sempat terjadi perpecahan. Berbagai golongan mengajukan pemimpinnya masing-masing. Tidak sedikit pula yang bersedih hati karena ditinggal pemimpin yang amat dicintai. Bahkan Umar bin Khattab pun sempat tidak percaya, dan berani menghunuskan pedang kepada siapapun yang berkata bahwa Rasulullah telah meninggal dunia.
Umar cukup ribut dan berkata bahwa Nabi Muhammad tidak wafat, namun Abu Bakar segera menengahi dan berkata, “Saudara-saudara, barangsiapa mau menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tak pernah mati.”
Kemudian membacakan ayat Quran Surah Ali Imran ayat 144 yang berbunyi, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Mendengar perkataan dan ayat dari Abu Bakar, seketika Umar langsung berlutut di tanah. Tersungkur terlalu sedih kehilangan Rasulullah. Sikap Abu Bakar ketika menghadapi Umar, sangat tenang dan bijaksana. Padahal tentu pasti Abu Bakar juga sangat sedih, apalagi beliau adalah sahabat terdekat Rasulullah.
Ketika Abu Bakar dan Sahabat sedang mengurus pemakanan Rasulullah, ada keributan antara Kaum Muhajirin dan Kaum Ansar soal siapa pemimpin yang melanjutkan posisi Nabi Muhammad.
Kaum Ansar merasa lebih berhak untuk melanjutkan kepemimpinan Umat Muslim, sebab mereka telah membantu dan menampung hidup ketika Kaum Muhajirin hijrah ke Madinah. Sedangkan kaum Muhajirin mengaku lebih pantas, karena mereka berasal dari Mekkah, yaitu merupakan orang Arab asli. Perdebatan tentang pemimpin selanjutnya ditutup dengan baiat dari Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah kepada Abu Bakar.
Ketika Rasulullah sedang sakit dan menjelang wafat, Rasul menunjuk Abu Bakar untuk menjadi Imam Shalat yang menggantikannya. Sebelumnya, Shalat berjamaah selalu dipimpin oleh Rasulullah. Banyak orang yang menganggap bahwa ditunjuknya Abu bakar adalah kode yang diberikan Rasulullah, bahwa Abu Bakar adalah khalifah selanjutnya. Hal inilah yang juga menjadi pendasaran bagi Umar dan Abu Ubaidah untuk membaiat Abu Bakar.
Tegas untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan murtad kepada Allah
Pertama kali menjabat sebagai Khalifah, Abu Bakar harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang menjalar dari berbagai suku Arab, yang berasal dari daerah hijaz dan Nejed. Mereka tidak ingin mematuhi Khalifah yang baru, yakni Abu Bakar. Bentuk pemberontakannya yakni dengan tidak membayar zakat. Sebagian dari mereka memilih murtad. Suku-suku tersebut mengaku, hanya ingin patuh kepada Nabi Muhammad. Apabila Rasulullah telah tiada, maka kepatuhan mereka pun tidak perlu dilaksanakan lagi.
Selain enggan membayar zakat, di antara para pemberontak ada seseorang yang bernama “Ibnu Habi al-Hanafi”, atau dikenal sebagai Musailamah al-Kazzab, yang mengaku dirinya sebagai Nabi baru yang menggantikan Rasulullah. Keberadaan Nabi palsu ini juga cukup membuat kondisi persatuan umat Islam terguncang. Apalagi, pada saat bersamaan pasukan muslim yang berada di bawah pimpinan Usamah sedang berada di perbatasan Rumawi, dan tidak ada lagi pasukan untuk mempertahankan Madinah.
Abu Bakar memutuskan secara tegas untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan murtad kepada Allah. Pilihan ini diambil untuk menjaga kestabilan, agar tidak ada lagi propaganda untuk berhenti membayar zakat dan keluar dari Islam.
Keputusan Abu Bakar sempat ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar menyarankan agar Abu Bakar berdamai saja dengan para pemberontak, dan membiarkan mereka dengan keputusannya yang tidak mau bayar zakat. Asalkan mereka mau membantu bersama-sama melawan musuh. Tidak melakukan kekerasan untuk menarik dana zakat dari mereka yang membangkang. Namun, Abu Bakar menolak usulan dari Umar.
Perdebatan antara Abu Bakar dan Umar cukup panjang dan sengit. Sampai akhirnya dikisahkan dalam buku 150 Kisah Abu Bakar Al-Shiddiq (2016) karya Ahmad ‘Abdul ‘Al Al-Thanthaqi, Abu Bakar berkata pada Umar saat berdebat, “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang membedakan antara kewajiban salat dengan zakat.”
Perang memerangi orang yang membangkang disebut dengan Perang Riddah. Jikalau saja Abu Bakar tidak melakukan perang, dan membiarkan umat muslim melakukan pemberontakan serta menolak bayar zakat, bisa jadi kondisi Islam saat ini sudah sangat berantakan.
Pemberontakan yang dilakukan bisa menular, dan memiliki sifat mempengaruhi satu sama lain. Tidak hanya satu atau dua orang yang memutuskan untuk tidak membayar zakat dan murtad, melainkan ada banyak. Apabila dibiarkan akan tersebar sangat luas, kekuatan umat Islam dapat melemah. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang menolak zakat dan orang yang murtad, adalah keputusan yang tepat untuk menyelamatkan Islam. Kemenangan telah berpihak kepada Abu Bakar.
Pengelolaan Zakat Pada Masa Khalifah Abu Bakar Asyidiq
Abu Bakar terkenal dengan ketegasannya ketika menarik dan mengelola zakat. Bagi siapa saja yang membangkang dan menolak membayar zakat, Abu Bakar tidak segan untuk memerangi orang tersebut.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, belum ada lembaga swasta yang melayani jasa menarik zakat dan mendistribusikannya. Oleh sebab itu, selain menyalurkan langsung seorang diri kepada mustahiq, pengelolaan zakat dikelola terpusat oleh negara.
Abu Bakar membuat sistem penarikan zakat di tingkat daerah. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan mengirim surat kepada setiap gubernur yang mengelola wilayah kekuasaan Islam. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa gubernur perlu menyiapkan orang-orang yang menarik zakat, membuat hukum daerah yang dapat membantu proses penarikan zakat.
Dalam surat juga ditegaskan, bahwa zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi kaum muslimin, yang memiliki kelebihan harta. Serta saat melakukan penyaluran zakat, gubernur diinstruksikan untuk mengukur kadar pemberian secara adil dan sesuai kebutuhan dari mustahiq. Tidak boleh kurang, tidak boleh berlebihan. Walaupun ada seorang mustahiq yang meminta zakat lebih, selama sudah diukur sesuai kebutuhannya, maka tidak diperbolehkan menambah. Hal ini guna untuk pemerataan orang-orang yang menerima zakat.
Pengelolaan zakat pada masa Khalifah Abu Bakar Asyidiq cukup terpusat dikelola oleh negara. Sistem penyalurannya pun tidak jauh berbeda dengan bagaimana cara Rasulullah menyalurkan zakat. Rasulullah menggunakan Baitul Mal untuk menampung, menghitung, serta mendistribusikan zakat kepada mustahiq.
Hal yang berbeda dari sistem pengelolaan zakat Abu Bakar adalah pada ketegasannya menarik zakat. Pada masa Rasulullah, penarikan zakat dilakukan tanpa adanya perlawanan. Sebab Rasulullah merupakan seorang Nabi dan pemimpin yang sangat dihormati dan ditaati oleh berbagai suku dan kalangan. Namun, ketika kepemimpinan berganti, banyak orang yang tidak mau mentaati kebijakan pemimpin soal zakat. Oleh sebab itu, Abu Bakar menjadi lebih tegas soal pengelolaan zakat.
Zakat bukan ibadah main-main
Sejarah pengelolaan zakat pada masa Khalifah Abu Bakar Asyidiq memiliki kisah yang cukup heroik. Sebab Abu Bakar cukup tegas dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Dari sejarah ini, dapat kita tarik pelajaran bahwa membayar zakat sangat penting dan wajib dilakukan oleh umat muslim. Jika kita enggan membayar zakat, kita telah menelan hak-hak mustahiq yang berada di sebagian harta.
Zakat bukan ibadah main-main. Bila menunaikannya, ada manfaat besar yang dapat dirasakan oleh umat muslim. Menyambung hidup orang fakir dan miskin, mempererat tali silaturahmi dan solidaritas, serta menipiskan gap antara si kaya dan si miskin.
Kisah ini juga dapat menjadi refleksi buat kita sebagai seorang muslim, apakah kita sudah cukup tegas untuk menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah? Atau selama ini kita pikir zakat bukanlah ibadah wajib, sehingga merasa tidak perlu dibayar? Pada zaman Abu Bakar orang yang tidak mau berzakat sampai diperangi, berarti menandakan betapa pentingnya hukum zakat dijalankan. Jadi Sobat, sudah berzakatkah bulan ini?